Minggu, 08 Mei 2016

KLONING, SEBUAH PEMBELAJARAN TENTANG PERDEBATAN ETIKA SAINS.

21.06

Kasus yang selalu menjadi menarik karena melibatkan perdebatan kaum ilmuwan dan agamawan adalah masalah Kloning. Pada tahun 1997, keberhasilan proses kloning yang menghasilkan domba Dolly menjadi perhatian utama dunia ilmu pengetahuan. Keberhasilan ini memicu diskusi yang tidak pernah selesai mengenai eksistensi keilmuan di satu sisi dengan etika keagamaan di sisi lainnya. Teknik kloning ini terus berkembang secara cepat, dan dapat diterapkan tidak saja pada sel embrio, tetapi juga dapat diterapkan pada sel dewasa.
Dengan kata lain, manusia telah mampu menciptakan suatu sel hidup sama seperti kita membuat foto copy dokumen dengan mesin foto copy. Persoalannya adalah, debat dan diskusi yang muncul harus menjawab sebuah pertanyaan mendasar: “Apakah semua hal yang bisa dilakukan memang patut dilakukan?”. Dari sisi kemanusiaan misalnya, kloning manusia boleh jadi akan menjadi penyelamat bagi pasangan-pasangan tidak subur untuk memperoleh keturunan langsung. Sebaliknya bagi para etikawan dan agamawan, memegang teguh sebuah prinsip bahwa dalam ilmu pengetahuan, tidak semua yang bisa dilakukan patut dilakukan.
Pada dewasa ini, penelitian mengenai kloning manusia berjalan terus, sekalipun di tengah derasnya kritik dan kecaman atas dasar-dasar prinsip etika. Etika agama “yang bisa dilakukan belum tentu patut dilakukan” berhadapan dengan semangat teknologi dan berjalan berdampingan. Kasus teknologi kloning memang akhirnya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi masing-masing pihak untuk meresponnya.
Ketika masalah kloning dibahas di PBB, Indonesia merupakan salah satu dari 37 negara yang abstain dalam pemungutan suara atas draf deklarasi Majelis Umum PBB pada 8 Maret 2005, yang berisi seruan larangan bagi semua bentuk kloning manusia, termasuk kloning untuk keperluan medis. Sebanyak 84 negara mendukung deklarasi tersebut, sedangkan 34 negara menentang. Alasan Indonesia untuk bersikap abstain adalah karena masalah kloning tidak dapat diputuskan dengan cara pemungutan suara. Harus dilakukan musyawarah dengan memandang berbagai latar belakang dan sudut pandang, termasuk agama.
Kasus kloning akan tetap menjadi perdebatan antara kalangan ilmuwan dengan kalangan agamawan dan etikawan. Dan masing-masing akan tetap berpegang pada sudut pandangnya. Jalan tengah yang perlu dibuat adalah kesepakatan logis bahwa seyogyanya agamawan tidak mengesampingkan akal budi, dan ilmuwan tidak mengesampingkan etika. Diperlukan kearifan dan etika untuk memahami dan menginterpretasikan “ijin Tuhan” untuk melakukan eksplorasi alam semesta ini. Kasus kloning merupakan ujian atas bagaimana kalangan agamawan dan ilmuwan harus bersikap satu sama lain. Kasus kloning adalah kasus yang ada di permukaan bumi, sehingga akan lebih mudah diinterpretasi dan dicerna untuk disikapi. Bagaimana dengan kasus yang “tidak kasat mata”? Kasus perbedaan interpretasi antara kalangan agamis dan saintis di bawah ini mencoba mendeskripsikan perbedaan pandangan tersebut.
Sumber : https://strategika.wordpress.com/2007/07/05/sains-dan-agama/

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

1 komentar:

 

© 2013 Korelasi antara Agama dan Teknologi. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top